Editorial Inilahdepok….
Inilahdepok.id – Tanggal 2 Mei kembali hadir sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Seperti biasa, pidato dibacakan, upacara digelar, dan kutipan Ki Hajar Dewantara kembali dikumandangkan.
Namun dari tahun ke tahun, peringatan ini terasa makin simbolik, semakin jauh dari realita pendidikan kita yang sesungguhnya.
Jika pendidikan adalah fondasi bangsa, maka fondasi itu tengah retak.
Kita harus jujur mengakui, banyak yang belum beres. Ketimpangan masih nyata, kualitas masih tertinggal, dan sistem belum sepenuhnya berpihak pada proses belajar yang membebaskan.
Masih Jauh dari Merdeka
Kita telah mengganti kurikulum. Kita bicara tentang “Merdeka Belajar.” Tapi dalam praktiknya, guru masih dibebani administrasi yang menumpuk.
Banyak sekolah masih terjebak pada rutinitas yang miskin makna. Bahkan, di banyak daerah, anak-anak masih harus menempuh perjalanan ekstrem untuk bisa duduk di ruang kelas.
Menurut data PISA (2022), Indonesia menempati posisi bawah dalam kemampuan literasi, numerasi, dan sains.
Artinya, bukan hanya sistem yang tertinggal — tetapi juga metode, pendekatan, dan perhatian kita terhadap pembelajaran yang bermakna.
Terlalu Banyak Simbol, Terlalu Sedikit Perubahan
Pendidikan hari ini terlalu sering dibingkai dalam seremoni.
Kita rayakan Hari Guru, Hari Pendidikan, Hari Anak Nasional — tapi esensinya tak selalu kita rawat. Sistem pendidikan masih menjadikan angka-angka sebagai tolok ukur utama, bukan proses, bukan pemikiran kritis, bukan karakter.
Di sisi lain, nasib guru honorer yang belum jelas, minimnya fasilitas di sekolah-sekolah pinggiran, dan dominasi proyek ketimbang kebijakan yang berkelanjutan adalah masalah nyata yang terus mengendap — dan tidak cukup diselesaikan dengan spanduk dan pidato.
Kembalikan Martabat Pendidikan
Hari Pendidikan Nasional semestinya menjadi momen refleksi nasional, bukan euforia tahunan.
Kita perlu kembali pada semangat awal pendidikan: membentuk manusia yang berpikir, memiliki karakter, dan mampu menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Pendidikan bukan soal siapa dapat ranking satu.
Pendidikan adalah tentang apakah anak-anak kita paham makna hidup, mampu membedakan benar dan salah, dan tidak tumbuh menjadi generasi yang hanya mencari jawaban — tapi kehilangan keberanian untuk bertanya.
Penutup
Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan adalah usaha kebudayaan untuk memanusiakan manusia.
Maka sudah waktunya pendidikan tidak lagi dijadikan alat politik atau proyek kebijakan.
Pendidikan harus kembali menjadi ruang harapan, bukan ladang beban.
Tugas kita belum selesai. Bahkan, baru dimulai. Selamat Hari Pendidikan Nasional — mari kita jaga agar maknanya tidak hilang di tengah formalitas yang kita buat sendiri.***