Inilahdepok.id – Konferensi Musik Indonesia (KMI) 2025 di hari ketiga menghadirkan
dialog yang dibagi menjadi beberapa sesi paralel yang membahas ekosistem musik dari lokal
hingga global, dari panggung hingga platform digital, dan keberlanjutannya.
Pembahasan mengenai pariwisata dan industri kreatif dibalut dalam tajuk “Sound of Tourism and
Creativity: Nada, Nusa, dan Wisata” dengan pembicara utama Wakil Menteri Pariwisata RI, Ni
Luh Puspa.
Dimoderatori oleh Ryo Wicaksono, ruang diskusi ini turut dihadiri oleh – Asisten Deputi
Event Daerah Kementerian Pariwisata, Reza Pahlevi; Group Advisor, Creative and Tourism
Programs InJourney, Ishak Reza; Sekjen Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI),
Maulana Yusran; Musisi Keroncong, Endah Laras; dan penggagas Dieng Culture Festival, Budhi
Hermanto.
Diskusi diawali dengan paparan Wakil Menteri Pariwisata RI, Ni Luh Puspa, yang menegaskan
pentingnya strategi kolaboratif dalam mengembangkan wisata musik sebagai salah satu daya
tarik utama pariwisata Indonesia. Tren baru di dunia pariwisata, yakni gig tripping atau perjalanan
wisata khusus untuk menghadiri konser dan festival musik, menjadi peluang besar bagi Indonesia
untuk memperkuat posisi sebagai destinasi wisata kreatif kelas dunia.
Festival musik seperti Java Jazz, Prambanan Jazz, Synchronize Festival, hingga Hammersonic
telah membuktikan kemampuan Indonesia menyelenggarakan acara berkelas dunia. “Dari dua
event besar seperti Hammersonic dan Java Jazz saja, dampak ekonominya berkontribusi nyata
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan kesejahteraan masyarakat melalui
penyerapan tenaga kerja. Ini bukti bahwa musik bukan sekadar hiburan, tapi motor penggerak
ekonomi dan pariwisata,” ujarnya.
Group Advisor, Creative and Tourism Programs InJourney, Ishaq Reza, juga memaparkan
strategi bagaimana mengembangkan wisata musik melalui berbagai inisiatif seperti Borobudur
Festival, Golo Mori Jazz, dan program Event by Indonesia, di mana musik dan seni menjadi
bagian dari strategi memperkaya pengalaman wisata dan memperkuat identitas budaya
Indonesia.
“Seluruh upaya ini berpijak pada semangat collaborative tourism, yaitu kerja sama
lintas sektor antara pemerintah, pelaku industri, dan komunitas kreatif untuk meningkatkan nilai
dan daya tarik destinasi Indonesia di mata dunia,” jelasnya.
Sekretaris Jenderal Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran juga
menyebutkan hal senada, bahwa perlu kolaborasi antara Kementerian Kebudayaan,
Kementerian Pariwisata, dan Pemerintah Daerah agar musik tradisi semakin populer. Dalam
konteks bisnis, lagu-lagu yang termasuk public domain dapat lebih cepat dimanfaatkan oleh
sektor pariwisata, ia berharap adanya kebijakan yang memperjelas status public domain agar
musik daerah bisa digunakan secara lebih luas.
Pengagas Dieng Culture Festival (DCF), Budhi Hermanto juga memberikan pengalamannya
menggagas DCF, di mana festival tersebut benar-benar merupakan hasil inisiatif masyarakat
Dieng sendiri melalui gotong royong dan menjadikan musik sebagai unsur penting dalam festival
ini. “Kami tidak menentukan siapa musisi yang harus tampil, semuanya tumbuh secara alami
melalui komunikasi antarwarga dan komunitas. Banyak musisi datang dengan inisiatif sendiri
untuk berpartisipasi, sehingga festival ini benar-benar berbasis kolaborasi”, ujarnya.
Asisten Deputi Event Daerah, Kementerian Pariwisata, Reza Pahlevi sepakat dengan panelis
lainnya bahwa strategi melalui event musik menjadi salah satu cara yang sangat efektif untuk
menarik minat wisatawan, terutama ke daerah-daerah. Ia mencontohkan Solo Keroncong
Festival, Keroncong Plesiran, Sawahlunto International Music Festival, Festival Musik TongTong, dan Aceh Traditional Music Festival. Sebagian besar event tersebut diselenggarakan oleh
pemerintah daerah, komunitas, yayasan, serta para pelaku musik dan budaya lokal.
Pemerintah
pusat berperan untuk memfasilitasi dan memperkuat kolaborasi, mendukung promosi, serta
menjaga keaslian dan keberlanjutan kegiatan budaya tersebut.
Lebih luas terkait pariwisata dan dunia internasional, turut dibahas mengenai “Musisi Lintas
Batas: Mobilitas Global dan Diplomasi Budaya” yang diawali dengan pembicara utama Wakil
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan RI, Silmy Karim. Diskusi ruang ini juga menghadirkan
Direktur Diplomasi Kebudayaan, Raden Usman Effendi; Ketua Tim Visa Kunjungan Kementerian
Imigrasi dan Pemasyarakatan RI, Bambang Triyudono; SRM Bookings, Satria Ramadhan; dan
Warta Jazz Agency, Agus Setiawan Basuni, dengan moderator Halida Fisandra Bunga.
Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Silmy Karim, memaparkan perihal kebijakan
Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan dalam mendukung penerbitan Visa Art and
Perfomance pada tahun 2023. Kebijakan ini menjadi langkah awal bagi Kementeriannya dalam
memberikan kemudahan para musisi asing untuk dapat tampil di Indonesia, yang sampai saat ini
telah diterbitkan sebanyak 5.596 visa. “Kehadiran kebijakan ini diharapkan dapat menumbuhkan
peluang ekonomi, memperkaya wawasan musik masyarakat, dan menggairahkan industri musik
nasional,” tambahnya.
Senada dengan hal tersebut, Direktur Diplomasi Kebudayaan Kementerian Kebudayaan, Raden
Usman Effendi, turut memberikan rekomendasi kebijakan Kementerian Kebudayaan dalam
mendukung seniman dan musisi Indonesia untuk dapat tampil dan berkarya di tingkat
internasional. Dirinya berujar bahwa Kementerian Kebudayaan terus mendukung dan
memfasilitasi para seniman dalam mempromosikan karyanya di tingkat global sebagai bagian
diplomasi budaya.
“Kita perlu mendorong perjanjian budaya bilateral, regional, dan multilateral antar negara dalam
bidang budaya, termasuk kemudahan seperti pembebasan pajak, pengurangan biaya visa bagi
para seniman, dan kelancaran bea cukai untuk alat musik dan perlengkapan lainnya. Skema
Public Private Partnership sangat diperlukan. Kami sangat terbuka untuk berbagai kerja sama
dan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi budaya dan kreatif melalui industri musik,” ucap Direktur Raden Usman.
Dalam pengurusan visa dalam rangka pertunjukan musik di luar negeri, Satria Ramadhan
mewakili SRM bookings and Services, menuturkan tentang kendala ini.
“Cukup banyak keluhan
dari para musisi terkait dengan pengurusan visa saat ingin tampil di luar negeri. Kami pun sebagai
agent yang mewadahi musisi Indonesia turut menghadapi kesulitan tersebut,” jelas Satria.
Menjawab hal tersebut, Ketua tim Visa Kunjungan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan,
Bambang Triyudono mengungkap bahwa Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan akan terus
berupaya mendukung kehadiran para musisi Tanah Air untuk dapat berkiprah di luar negeri
melalui berbagai kebijakan.
Agus Setiawan Basuni, mewakili Warta Jazz Agency, turut menyampaikan pandangannya
mengenai peluang musisi Indonesia di mancanegara, khususnya musik jazz. “Persoalan kita ada
di administrasi. Namun kita bersyukur hal tersebut sudah mulai diperbaiki. Saya ingin mendorong
semua pihak di KMI untuk dapat duduk bersama dan menyamakan pandangan dalam
menyelesaikan berbagai persoalan di lapangan yang dapat menghambat para musisi kita,” ucap
Agus Setiawan.
Melalui diskusi ini pemerintah melalui berbagai kementerian terus mendorong pengembangan
industri musik nasional. Berbagai kolaborasi untuk mewujudkan musik dalam industri kreatif dan
pariwisata di lingkup lokal dan global terus ditingkatkan demi mendukung ekosistem musik yang
saling mendukung dan memajukan musik tanah air