Inilahdepok.id – Anggota Komisi X DPR RI Nuroji meminta kepada Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk merivisi Permendikbudristek nomor 2 tahun 2024.
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Gerindra, Nuroji meminta kepada para masyarakat tak perlu panik berlebihan.
Sebab, DPR RI sudah memanggil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, guna dimintai penjelasannya soal UKT ini.
“Masyarakat tak perlu khawatir, tak perlu mengadakan aksi, kami sudah menggelar rapat dengan Kemendikbudristek,” ujar Nuroji.
Nuroji mengatakan, kenaikan UKT di beberapa perguruan tinggi karena adanya Permendikbudristek nomor 2 tahun 2024.
Dimana, para rektor perguruan tinggi dibebaskan mengatur UKT masing masing.
“Yang salah satunya, berisikan tentang peruruan tinggi mandiri boleh mencari dana tambahan,”katanya.
Pada fenomena ini, yang naik hanyalah UKT pada klasifikasi yang dibebankan oleh masyakat mampu atau UKT yang berjumlah belasan juta rupiah.
Melainkan, pada klasifikasi UKT untuk masyarakat kurang mampu tidak akan naik, yaitu yang nominalnya sejumlah ratusan ribu hingga beberapa juta rupiah saja.
“Seperti anak pejabat ada yang sampai Rp16 sampau Rp17 juta untuk UKTnya, itu pastinya akan naik,” katanya.
Saat ini, kata Nuroji, yang menjadi polemik di tengah masyarakat adalah kenaikan uang UKT terlalu berlipat lipat ganda, yaitu bisa empat kali lipat.
“Yang diributkan kali ini adalah kenaikan yang dialami oleh klasifikasi tinggi yang terlalu berlipat lipat misalnya Rp16 juta jadi Rp60 juta. Itu juga kami kritisi kepada Kemenbudristek,”katanya.
Selain itu, beberapa alasan lainya rektor menaikan UKT adalah, pihak perguruan tinggi belum pernah menaikan UKT sejak lama.
Para rektor mengaku sejak 2019, belum pernah menaikan UKT pada peruruan tingginya.
Atas kegaduhan ini, Nuruji meminta kepada Kemdikbudristek untuk bisa merevisi Permendikbudristek nomor 2 tahun 2024, agar para perguruan tinggi bisa membatasi UKT untuk mahasiswa.
“Seharusnya, dalam permen tersebut terdapat kejelasan, seperti paling tinggi berapa dan paling rendah berapa.” katanya.
Nuroji juga mengkritisi pernyataan dari Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie pendidikan tinggi atau kuliah sebagai kebutuhan tersier.
Pernyataan itu seolah-olah memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa pendidikan tinggi bukan merupakan hal yang penting untuk ditempuh oleh masyarakat.
Sebab, ujar Nuroji, sebuah negara yang maju, masyarakatnya harus diatas angka 50 persen sekolah diperguruan tinggi atau menjadi seorang sarjana.
Saat ini yang ngerasain perguruan tinggi baru 30 persen di Indonesia, kalau mau negara maju itu harus diatas 50 persen rakyatnya sarjana.






