Berita  

Editorial: Kebangkitan Nasional Bukan Sekadar Seremonial

Editorial Inilahdepok: Kebangkitan Nasional Bukan Sekadar Seremonial

Inilahdepok.id – Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional.

Namun, pertanyaan yang patut diajukan adalah: Apakah kita benar-benar bangkit? Atau hanya bangkit dalam wacana dan pidato peringatan tahunan?

Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar mengenang berdirinya Boedi Oetomo pada 1908.

Ia adalah titik awal kesadaran kolektif bangsa ini untuk bersatu, belajar, dan melawan ketertinggalan.

Hari itu adalah awal mula rakyat yang tercerai-berai oleh kolonialisme mulai menyadari bahwa nasib bangsa harus ditentukan oleh tangan mereka sendiri.

Namun lebih dari seabad kemudian, kebangkitan yang sejati belum sepenuhnya kita wujudkan.

Korupsi masih merajalela, kesenjangan ekonomi masih menganga, intoleransi masih menggerogoti sendi-sendi sosial, dan generasi muda kerap diseret pada disorientasi nilai.

Baca Juga :  Fathiya Siswi Depok jadi Perwakilan Paskibraka Jabar di Tingkat Nasional

Kebangkitan nasional hari ini tidak bisa hanya dimaknai sebagai seremoni pasang spanduk dan upacara.

Bangkit harus berarti melawan kemiskinan, memberantas ketidakadilan, memperluas akses pendidikan, dan membangun solidaritas antargenerasi.

Di tengah derasnya arus digital dan globalisasi, kebangkitan kita juga harus bermakna kemandirian teknologi, keberpihakan pada UMKM, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Pemuda-pemudi hari ini bukan lagi berjuang mengusir penjajah, tetapi mereka harus berjuang melawan rasa apatis, malas berpikir, dan kehilangan arah.

Indonesia tidak akan bisa berdiri tegak bila generasi mudanya sibuk dengan konten tanpa substansi, atau terpancing oleh wacana yang memecah belah.

Baca Juga :  Siswa Miskin Tidak Diterima di SMA Negeri, Wali Kota Depok Singung Kerap Dibahas di Pemerintah Pusat

Kita harus belajar dari para pendiri bangsa yang menjadikan pendidikan dan persatuan sebagai landasan perjuangan.

Boedi Oetomo, meski beranggotakan kaum priyayi dan cendekiawan Jawa, melahirkan inspirasi bagi gerakan-gerakan nasional selanjutnya karena mengusung cita-cita kemajuan bersama.

Hari ini, saatnya kita merebut kembali makna “bangkit” dari tangan-tangan yang menyelewengkannya menjadi slogan kosong.

Bangkit bukan hanya urusan negara, tapi tanggung jawab kita semua—rakyat yang tidak menunggu, tetapi mengambil peran.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional. Bangkit tidak menunggu aba-aba. Bangkit dimulai dari keberanian untuk berubah.***