Atas kegaduhan ini, Nuruji meminta kepada Kemdikbudristek untuk bisa merevisi Permendikbudristek nomor 2 tahun 2024, agar para perguruan tinggi bisa membatasi UKT untuk mahasiswa.
“Seharusnya, dalam permen tersebut terdapat kejelasan, seperti paling tinggi berapa dan paling rendah berapa.” katanya.
Nuroji juga mengkritisi pernyataan dari Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie pendidikan tinggi atau kuliah sebagai kebutuhan tersier.
Pernyataan itu seolah-olah memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa pendidikan tinggi bukan merupakan hal yang penting untuk ditempuh oleh masyarakat.
Sebab, ujar Nuroji, sebuah negara yang maju, masyarakatnya harus diatas angka 50 persen sekolah diperguruan tinggi atau menjadi seorang sarjana.
Saat ini yang ngerasain perguruan tinggi baru 30 persen di Indonesia, kalau mau negara maju itu harus diatas 50 persen rakyatnya sarjana.